NasionalRagam

Prof Henri Subiakto Minta UU ITE Tidak Jadi Alat Bungkam Kebebasan Pers

757
×

Prof Henri Subiakto Minta UU ITE Tidak Jadi Alat Bungkam Kebebasan Pers

Sebarkan artikel ini
Dialog Nasional SMSI bertema “Media Baru vs UU ITE” dalam rangka menyongsong Hari Pers Nasional (HPN) 2026, digelar secara daring dan luring di Kantor SMSI Pusat, Jakarta, Rabu (29/10/2025). Foto : Ist

SATUDATA.co.id – Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Prof. Henri Subiakto, menegaskan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi digital yang melahirkan bentuk komunikasi baru di masyarakat.

Pernyataan itu disampaikannya dalam Dialog Nasional bertema “Media Baru vs UU ITE” yang digelar SMSI Pusat secara daring melalui Zoom Meeting, Selasa, 28 Oktober 2025.

Kegiatan tersebut menjadi bagian dari rangkaian acara menuju peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2026.

Menurut Prof. Henri, pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menimbulkan aktivitas berbasis internet yang melahirkan perbuatan hukum baru, sehingga membutuhkan payung hukum yang jelas.

“Transaksi dan aktivitas baru berbasis internet menimbulkan perbuatan hukum baru yang perlu diatur. Karena itu, UU ITE menjadi penting,” ujarnya.

Ia menjelaskan, pengguna internet di Indonesia kini mencapai sekitar 191 juta orang, sementara pengguna media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan X (Twitter) lebih dari 224 juta akun aktif.

Dengan jumlah sebesar itu, UU ITE menjadi salah satu regulasi yang paling sering digunakan dalam berbagai kasus hukum di tanah air.

Namun, Prof. Henri menyoroti penerapan UU ITE yang kerap disalahgunakan untuk menjerat karya jurnalistik atau opini publik yang seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang Pers.

“Wartawan dan media bekerja dalam koridor Undang-Undang Pers. Mereka tidak bisa diperlakukan sama dengan pengguna media sosial biasa. Tapi sayangnya, masih sering ada salah tafsir dalam penerapan UU ITE terhadap produk jurnalistik,” tuturnya.

Ia juga menyinggung perkembangan media baru seperti podcast dan media daring yang kini tumbuh pesat karena kemudahan akses serta biaya produksi yang rendah.

“Podcast itu menarik karena mudah diakses dan dibuat. Biayanya murah, sehingga lebih independen dari tekanan iklan atau sponsor,” jelasnya.

Meski begitu, Prof. Henri mengingatkan agar media baru tetap menjunjung tinggi prinsip jurnalisme dan kode etik pers, termasuk dalam hal verifikasi fakta dan menjaga objektivitas.

“Podcast dan media daring memang berbeda format, tapi secara fungsi keduanya sama-sama menyampaikan informasi kepada publik. Hanya saja, banyak yang belum diakui secara resmi oleh Dewan Pers,” katanya.

Dalam kesempatan itu, ia juga menyoroti maraknya kasus kriminalisasi terhadap jurnalis dengan dalih UU ITE, terutama saat karya jurnalistik menyentuh isu sensitif seperti korupsi atau kritik terhadap pejabat publik.

“Sekarang banyak orang yang kerjanya lapor. Sedikit berbeda pendapat, langsung dilaporkan dengan UU ITE. Ini yang menakutkan,” tegasnya.

Menutup paparannya, Prof. Henri mendorong SMSI agar aktif memperjuangkan revisi UU ITE sehingga penerapannya tidak membungkam kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.

“SMSI perlu mengambil peran untuk memastikan UU ITE tidak menjadi alat pembungkam, tapi tetap mengedepankan semangat kebangsaan dan kebaikan bagi bangsa,” ujarnya menegaskan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *