Opini

Pendidikan Tinggi Kelas Dunia: Krisis Ruh, Bias Metrik, dan Upaya Pemulihan Mutu Hakiki

43
×

Pendidikan Tinggi Kelas Dunia: Krisis Ruh, Bias Metrik, dan Upaya Pemulihan Mutu Hakiki

Sebarkan artikel ini
Suparman Mannuhung

Suparman Mannuhung

(Universitas Andi Djemma)

Abstrak

Kecenderungan universitas di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk mengejar peringkat global seperti QS World University Rankings dan Times Higher Education telah menciptakan pergeseran orientasi pendidikan tinggi. Pemeringkatan yang awalnya bersifat instrumentalis kini berubah menjadi tujuan utama, sehingga menimbulkan apa yang dapat disebut sebagai fetisisme metrik. Artikel ini menganalisis fenomena tersebut berdasarkan pendekatan kajian konseptual, membandingkan orientasi universitas-universitas Eropa yang lebih stabil dengan kondisi di Indonesia yang mengalami kegelisahan struktural. Temuan utama menunjukkan bahwa orientasi terhadap metrik global menyebabkan reduksi makna pendidikan, komersialisasi riset, marginalisasi humaniora, dan tekanan integritas akademik. Artikel ini menegaskan kembali definisi pendidikan bermutu hakiki—yakni pendidikan yang memanusiakan, membangun tanggung jawab moral, dan berorientasi pada kemaslahatan publik. Pada akhirnya, artikel ini menawarkan kerangka normatif dan praktis untuk mengembalikan universitas pada misi fundamentalnya sebagai penjaga nurani publik dan pusat peradaban.

Kata kunci: pendidikan tinggi, QS ranking, THE ranking, metrik global, mutu pendidikan, ruh ilmu, krisis akademik.

Pendahuluan

Dalam satu dekade terakhir, frasa “naik peringkat QS dan THE” menjadi mantra baru dalam dinamika pendidikan tinggi Indonesia. Ia tidak hanya menjadi indikator kinerja institusi, namun juga simbol prestise, legitimasi kebijakan, dan bahkan ukuran harga diri akademik. Di balik semangat itu, terdapat paradoks yang mengemuka: universitas tampak semakin modern, semakin global, dan semakin produktif secara statistik, tetapi banyak pihak merasakan hilangnya ruh pendidikan yang mendasar. Universitas menjadi sibuk mengejar angka, namun kehilangan keheningan intelektual; ramai publikasi, tetapi hampa perenungan makna.

Fenomena tersebut menandai perubahan orientasi yang signifikan: pendidikan tidak lagi dipandu oleh pencarian kebenaran dan pembentukan kemanusiaan, tetapi oleh mekanisme pemeringkatan global yang semata-mata berbasis metrik. Artikel ini bertujuan untuk mengkritisi gejala tersebut melalui analisis konseptual yang membandingkan konteks Indonesia dengan tradisi universitas di Eropa, serta menawarkan definisi alternatif tentang mutu pendidikan tinggi yang hakiki.

Metode Penelitian

Artikel ini merupakan kajian konseptual (conceptual paper) dengan pendekatan analitis-kritis, menggunakan:

1. Analisis wacana pada narasi publik dan kebijakan pendidikan tinggi;

2. Kajian literatur mengenai pemeringkatan global, komodifikasi pendidikan, dan filsafat pendidikan;

3. Perbandingan kelembagaan antara universitas-universitas Eropa dan Indonesia;

4. Kerangka filosofis tentang hakikat ilmu dan tujuan pendidikan.

Pendekatan ini memungkinkan pembacaan mendalam terhadap orientasi epistemik dan struktural pendidikan tinggi kontemporer.

Pembahasan

1. Metrik Global: Dari Instrumen Menjadi Tujuan

Pemeringkatan global seperti QS dan THE didesain sebagai alat pemetaan untuk pasar pendidikan internasional. Kedua sistem tersebut bekerja dengan indikator yang dapat diukur: reputasi akademik, sitasi, kolaborasi riset, rasio dosen–mahasiswa, dan internasionalisasi.

Masalah muncul ketika instrumen itu berubah menjadi “tujuan utama” dalam pengelolaan universitas. Universitas mulai menata kebijakan, anggaran, dan tata kelola bukan berdasarkan visi keilmuan atau kebutuhan masyarakat, tetapi berdasarkan optimasi algoritma metrik global. Hal ini melahirkan fenomena metric-driven governance, yaitu pengelolaan universitas yang digerakkan angka, bukan makna.

2. Hilangnya Ruh Pendidikan: Pendidikan Tanpa Manusia

Hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia pembentukan akal budi, integritas moral, dan tanggung jawab sosial. Namun orientasi metrik global tidak mengenal kategori-kategori tersebut. Dampaknya:

a. Mengajar dipersempit menjadi kewajiban administratif.

b. Mahasiswa diposisikan sebagai “asisten statistik” riset cepat saji.

c. Humaniora dan ilmu sosial terpinggirkan.

d. Integritas akademik mengalami tekanan struktural, sehingga berkembang fenomena salami publication dan jurnal predator.

Universitas tampak hidup oleh aktivitas, tetapi kehilangan denyut kemanusiaannya.

3. Kontras Eropa dan Indonesia: Tradisi vs Inferiority Complex

Di banyak universitas Eropa—Jerman, Austria, Prancis—pemeringkatan global tidak menjadi pusat orientasi kebijakan. Universitas memiliki kedaulatan tradisi akademik yang kuat, dengan pembiayaan negara yang stabil dan budaya akademik yang matang.

Sementara di Indonesia, ranking global diperlakukan sebagai legitimasi utama kemajuan. Hal ini menciptakan inferiority complex pascakolonial: sebuah kecenderungan menjadikan standar luar sebagai cermin harga diri akademik. Konsekuensinya, universitas cenderung menyesuaikan diri dengan algoritma pemeringkatan, seringkali dengan mengorbankan kebutuhan lokal dan misi sosial.

4. Ilmu yang Terpisah dari Nilai

Krisis terdalam bukanlah sekadar pada angka, tetapi pada tercerabutnya ilmu dari nilai. Ilmu yang kehilangan orientasi moral dapat dengan mudah diseret oleh kepentingan modal, industri eksploitatif, dan kebijakan jangka pendek. Universitas yang seharusnya menjadi penjaga nurani publik malah terjebak dalam logika pasar global.

5. Menuju Definisi Mutu Hakiki

Mutu hakiki bukan sekadar akumulasi indikator kuantitatif, tetapi kualitas manusia dan kontribusi sosial universitas. Kampus bermutu hakiki adalah yang:

a. Mendidik manusia secara utuh;

b. Melayani masyarakat, bukan sekadar industri;

c. Menjaga kedaulatan ilmu;

d. Memuliakan dosen sebagai pendidik;

e. Menjadi ruang aman bagi kejujuran intelektual.

Mutu seperti ini tidak selalu muncul dalam tabel ranking, tetapi dirasakan melalui manfaat sosial yang nyata.

Kesimpulan

Obsesi terhadap pemeringkatan global telah menggerus substansi pendidikan tinggi di Indonesia. Universitas semakin diarahkan oleh kalkulasi metrik dan semakin menjauh dari hakikat pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Untuk itu, diperlukan reposisi orientasi pendidikan tinggi dengan menghidupkan kembali ruh ilmu, mengutamakan kemaslahatan publik, dan menegaskan bahwa metrik hanyalah alat, bukan tujuan. Kampus bermutu hakiki adalah kampus yang berkualitas dalam akal, karakter, dan kontribusi sosialnya bukan hanya dalam angka.

Daftar Pustaka (APA)

Altbach, P. G. (2013). The international imperative in higher education (Vol. 27). Brill.

Hazelkorn, E. (2015). Rankings and the reshaping of higher education: The battle for world-class excellence. Springer.

Marginson, S. (2016). Higher education and the common good. Melbourne Univ. Publishing.

Austin, I., & Jones, G. A. (2024). Governance of higher education: Global perspectives, theories, and practices. Routledge.

Shin, J. C., Toutkoushian, R. K., & Teichler, U. (2011). University rankings: Theoretical basis, methodology and impacts on global higher education (Vol. 3). Dordrecht.

Trow, M. (2007). Reflections on the transition from elite to mass to universal access: Forms and phases of higher education in modern societies since WWII. In International handbook of higher education (pp. 243-280). Dordrecht: Springer Netherlands.

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *